
Teknisi dan tenaga ahli perawatan pesawat masih menjadi profesi langka di Indonesia dan menjadi isu utama industri perawatan pesawat terbang. Ketua IAMSA (Indonesia Aircraft Maintenance Shop Association), Richard Budihadianto, mengungkapkan hal itu dalam konferensi dan eksibisi ke-2 Aviation MRO Indonesia (AMROI) 2014 di Jakarta pada 29-30 April lalu. Langka karena teknisi dan tenaga ahli perawatan pesawat sangat dibutuhkan, sementara ketersediaannya terbatas. Terbatas bukan berarti tidak ada karena ternyata yang sangat dibutuhkan itu adalah tenaga-tenaga ahli berlisensi yang terampil dan berkualifikasi tinggi. Seberapa besar peran institusi pendidikan? Bagaimana pula kondisi fasilitas MRO (Maintenance Repair Overhaul) sebagai wadah mereka? Reni Rohmawati menyajikannya dalam Fokus kali ini.
Peran penting dalam penerbangan bukan cuma dipegang pilot, tapi juga teknisi pesawat terbang. Tanpa teknisi, pesawat tak bisa terbang. Bahkan pilot pun harus “tunduk” pada rekomendasi dari seorang teknisi jika ada persoalan teknis yang menyangkut keselamatan terbang. Jadi, peran pilot dan teknisi sangat vital dalam bisnis penerbangan. Apalagi sejak tujuh tahun lalu, ketika perkembangan angkutan udara di Indonesia makin besar, terutama dilihat dari jumlah penumpang, kedua profesi itu menjadi langka.
Kesadaran bahwa bisnis penerbangan kekurangan pilot sudah ada sejak tujuh tahun lalu itu. Sayang, institusi pencetaknya di dalam negeri sangat minim. Sekolah pilot swasta yang masih hitungan jari, malah gulung tikar, hanya satu yang bertahan: Deraya Flying School. Sarana dan prasarana STPI Curug pun waktu itu belum diperbarui, sehingga tidak bisa menelurkan pilot dalam jumlah banyak. Di samping itu, minat masyarakat belum besar. Ditambah lagi biaya sekolah yang jauh di atas rata-rata biaya sekolah profesi yang ada. Tahun 2010-an, barulah beberapa swasta turut mendukung untuk mendirikan sekolah pilot. Namun agak terlambat, sehingga pilot asing pun mengisi kekosongan itu.
Nah, seperti juga pilot, ternyata Indonesia juga membutuhkan banyak teknisi pesawat terbang. Sejak beberapa tahun lalu sudah diungkapkan oleh beberapa pelakunya, terutama yang bergerak dalam bisnis perawatan pesawat terbang. CEO GMF AeroAsia, Richard Budihadianto salah satunya, sejak 2007 sudah mencetuskan dibutuhkannya aerospace park di Indonesia. Selain untuk menjadikan fasilitas MRO dalam negeri memiliki daya saing tinggi, akan sangat banyak dibutuhkan tenaga teknisi kita.
Menurut Richard, daya saing tinggi akan mendatangkan pasar yang besar bagi fasilitas MRO, sehingga pekerjaan akan semakin meningkat. Revenu naik, pengalaman kerja atau manhours sumber daya manusia juga makin tinggi. Keandalan para teknisi pesawat terbang makin teruji dan dapat menjadi aset berharga bagi negara.
Rupanya, respons positif dari gagasan aerospace park itu juga baru muncul dua tahun belakangan ini. Lagi-lagi kita ketinggalan oleh Singapura yang pada Februari lalu di Singapore Airshow meluncurkan Seletar Aerospace Park (SAP). SAP sudah dibangun sejak tahun 2007 di lahan seluas 140 hektar dan ultimate pada tahun 2017. Begitu juga Malaysia, yang mendirikan Malaysia International Aerospace Center (MIAC), mulai tahun 2007.
Garuda Indonesia bersama GMF (Garuda Maintenance Facility) baru merencanakan pembangunannya tahun ini di Bintan, Kepulauan Riau. Sementara itu, boleh jadi Lion Group yang sudah membuka lahan di Batam untuk fasilitas MRO-nya –Batam Aero Technic (BAT) dibuka akhir Januari lalu– akan menjadikannya aerospace park. “Dulu kami sudah mengusulkan untuk membuat aerospace park di Jakarta dan Makassar. Namanya aerospace park itu harus punya akses ke runway, yang daerahnya menjadi wewenang pengelola bandara. Namun visinya belum sama,” ujar Richard.
Kurang dari 3.000 orang
Tidak usah heran jika kemudian Indonesia kekurangan teknisi dan tenaga ahli perawatan pesawat. IAMSA memperkirakan jumlahnya sekarang di bawah 3.000 orang. Dari Direktorat Kelaikan Udara dan Pengoperasian Pesawat Udara (DKUPPU) Ditjen Perhubungan Udara disebutkan bahwa sampai saat ini nomor registrasi teknisi yang memiliki lisensi ada lebih dari 7.000. “Tapi kan ada yang sudah tidak jadi teknisi lagi, pensiun, atau sudah meninggal,” ujar Kus Handono, Kepala Sub Direktorat Perawatan DKUPPU.
Richard menjelaskan bahwa 3.000 teknisi itu adalah untuk fixed wing yang operasi reguler. Boleh jadi ditambah dengan teknisi helikopter dan fixed wing carter ada sekitar 5.000 orang, seperti diungkapkan Bambang Soeriawan, General Manager Bandung Jet Aero yang mantan Sekjen IAMSA. itulah tenaga teknisi di Indonesia. Padahal, prediksi IAMSA, kebutuhan industri perawatan pesawat untuk lima tahun ke depan mencapai 6.000 teknisi untuk fixed wing yang operasi reguler dan lebih lagi dengan pesawat carter. Namun perkiraan ini disertai dengan asumsi bahwa kapasitas MRO nasional ditingkatkan dari 30 persen-40 persen menjadi 50 persen-60 persen.
Apakah teknisi juga akan seperti pilot yang banyak mendatangkan tenaga asing? Sampai saat ini, hanya untuk pekerjaan khusus tenaga teknisi asing dipekerjakan di Indonesia dan dalam waktu singkat. “Sekarang gak ada engineer asing di Garuda,” kata Batara Silaban, Direktur Teknik Garuda Indonesia. Sebelumnya, Garuda mendatangkan teknisi asing untuk pekerjaan yang membutuhkan keahlian khusus, terutama sewaktu awal mendatangkan pesawat baru.
Di sisi lain, menurut Richard, memang betul kapasitas MRO Indonesia baru bisa meraup 30 persen pasar perawatan pesawat dalam negeri, sisanya masih dirawat di luar negeri. Pasar dengan nilai 1,1 miliar dolar AS pada tahun 2013 itu hanya dapat diraih MRO Indonesia sekitar 330 juta – 440 juta dolar AS. Dari jumlah tersebut, sekitar 70 persennya masuk ke kantung GMF. Jadi, fasilitas MRO di luar GMF hanya mampu meraih 100 juta – 130 juta dolar AS. Padahal ada 66 fasilitas MRO di Indonesia, selain GMF.
Butuh Skil Perlu Waktu
Bicara industri tak pernah lepas dari peran regulator. Peran regulator bisa menjadi penghambat, bisa pula memajukan industri tertentu dalam suatu negara. Apa peran Sub Direktorat Perawatan di DKUPPU Ditjen Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan sebagai regulator?
Sekarang ini ada 45 engineer inspector di Subdit Perawatan DKUPPU. Tugas atau perannya adalah memastikan bahwa pesawat laik udara. Sertifikat laik udara itu berlaku satu tahun. Jadi, setiap tahun pesawat itu melalui proses pemeriksaan. Ada lagi para teknisi pemilik lisensi, yang umur lisensinya dua tahun untuk tipe pesawat, sementara untuk general license berlaku seumur hidup. Mereka yang baru lulus sekolah atau diklat teknik pesawat udara juga diuji untuk mendapat lisensi. Belum bengkel perawatan yang lisensinya diperbarui setahun sekali.
Semua pekerjaan tersebut harus dilakukan oleh para inspector DKUPPU. Berapa jumlah pesawat yang harus diperiksa? Sekitar 1.050 unit, belum lagi pesawat-pesawat yang baru atau yang akan datang. Berapa jumlah teknisi? Ada sekitar 5.000 orang. Berapa bengkel atau MRO? Ada 67 fasilitas.Nah.
“Kurang itu begini,” tutur Kus Handono, Kepala Subdit Perawatan DKUPPU. Ia mencontohkan tentang pemeriksaan pesawat B737-800NG Garuda Indonesia atau Lion Air. Berapa manday yang dibutuhkan? Katanya, untuk persiapan atau preparation, seperti membuat daftar pemeriksaan dan memeriksa latar belakang pesawat, dibutuhkan waktu setengah hari. Untuk pengecekan di lapangan membutuhkan dua manday. Artinya, pengerjaannya memakan waktu dua hari jika dilakukan oleh satu orang atau hanya satu hari jika dikerjakan oleh dua orang.
Pemeriksaan di lapangan itu misalnya, mengecek logbook pesawat, penggantian komponen, kecocokan jadwal perawatan. “Semua record diperiksa, termasuk kecocokan jadwal pemeriksaannya,” ujar Kus.
Bagaimana yang di luar Jakarta, apalagi di Papua? Di Papua DKUPPU memiliki dua otoritas penerbangan: di Manokwari dan di Merauke. Mereka inilah yang memeriksa pesawat dan teknisi yang operasi di sana.
Kalau menghitungnya begitu, DKUPPU memang kurang inspector. Solusinya adalah pendelegasian. Orang yang akan regulator delegasikan itu diperiksa dulu. Orang tersebut harus bisa membuat rekomendasi. Namun, kata Kus, pendelegasian pada operator sampai sekarang belum ada karena legal status memang belum ada. “Itu opsi saja karena di luar, pendelegasian itu bukan hal aneh. Di sini, untuk legal statusnya harus disebutkan dalam undang-undang, yang kini belum ada,” tuturnya.
Otorisasi lembaga
Untuk pendelegasian sebenarnya sudah dilakukan dalam bentuk memberikan approval kepada kelembagaan atau institusi. Suatu lembaga atau institusi diotorisai sampai pengujian, DKUPPU tigal menyetujui. Namun untuk pemeriksaan, secara periodik DKUPPU melakukan surveillance ke lembaga atau institusi tersebut. “ Cara seperti ini lebih simpel. Kita tidak membutuhkan orang banyak,” ungkap Kus. Apalagi di lembaga atau institusi, termasuk di industrinya, sebenarnya orang-orangnya lebih tahu tentang pekerjaannya.
Kalau terhambat regulasi, apa bisa diusulkan untuk diubah? “Bisa, tapi sampai saat ini belum dilakukan. Kalau untuk pilot memang sudah,” jawabnya. Padahal di setiap MRO atau operator sudah ada yang kapabilitasnya sebagai inspector. Garuda Indonesia memiliki 15 inspector, Lion Group 25 orang ditambah di Malindo Air dan Thailion masing-masing lima inspector. GMF jelas lebih banyak lagi.
Kus Handono juga mengakui bahwa industri perawatan pesawat Indonesia kekurangan tenaga teknisi. Cara menghitungnya mirip seperti tadi. Karena setiap task atau pekerjaan perawatan ada manhour-nya, maka pekerjaan itu tidak bisa “dipotong”; harus dikerjakan sesuai task card-nya masing-masing. “Setiap pekerjaan ada task card yang ada manhour-nya. Misalnya, satu pekerjaan empat manhour. Pekerjaan itu harus dikerjakan empat jam oleh satu orang. Kalau bisa dikerjakan oleh dua orang, bisa cuma dua jam,” ucapnya.
Task card itu dikeluarkan pabrikan pesawat. Biasanya dihitung untuk perawatan yang dilakukan oleh teknisi yang memiliki keterampilan standar, peralatannya lengkap, dan fasilitasnya memadai. Jika dikerjakan oleh tenaga-tenaga teknisi yang kurang terampil dengan peralatan dan fasilitas tidak memadai, pekerjaan yang empat manhour itubisa sampai 10 manhour.
Kus mencontohkan untuk perawatan A- check, yang task card-nya 40 manhour. Biasanya pekerjaan ini dikerjakan malam hari. “Kalau dikerjakan delapan orang, lima jam bisa selesai,” paparnya. Namun ada pekerjaan yang dikerjakan berurutan, sehingga tak bisa dibagi-bagi dalam waktu yang bersamaan. Ada juga volume pekerjaan yang orang-orangnya bisa dibagi-bagi, atau pekerjaannya simultan. Di sini, peran seorang planner sangat vital. Ia harus pandai merencanakan manusia, komponen, tool, material, dan lain-lainnya. Dari sini keandalan MRO bisa dicapai.
Yang Cepat dan Yang Tepat
Pekerjaan teknisi yang menarik adalah line maintenance. Setiap kali pesawat mendarat atau transit, mereka sudah siap untuk pengecekan. Untuk pekerjaan ini dibutuhkan minimal tiga engineer: untuk airframe, avionik, dan kabin. Dua engineer , yang untuk airframe dan avionik, biasanya berlisensi electrical avionic atau airframe powerplan. Mereka harus merilis pesawat laik terbang atau tidak, apalagi kalau night stop.
Kenapa perlu line maintenance? CEO GMF AeroAsia Richard Budihadianto menjelaskan, sewaktu pesawat terbang bisa saja ada kerusakan, tapi bukan tidak safe. Karena itu, ketika akan terbang lagi, pesawat harus dicek, apa kerusakan itu mengganggu atau tidak pada keselamatan. Sebetulnya pilot juga bisa merilis untuk penerbangan bahwa pesawat bisa terbang, tapi jika dalam penerbangan sebelumnya tak ada yang rusak atau kerusakan.
Sewaktu terbang, pilot selalu mengecek kondisi peralatan di kokpit. Ada salah satu indikator yang tidak menyala, yang menunjukkan tekanan tak berfungsi, misalnya. Namun pesawat tetap bisa operasi. Indikator yang tak menyala itu, pilot tulis dalam buku aircraft maintenance log. Di situ juga ada yang namanya semacam pilot complaint.
Begitu mendarat, buku tadi dibaca oleh teknisi. Buku ini sebagai alat komunikasi antara pilot dengan teknisi. “Sebaiknya, begitu landing, teknisi bertemu dengan pilot. Apa yang ditulis tadi dijelaskan oleh pilot. Misalnya, pilot bercerita bahwa pada ketinggian segini tahu-tahu ini begini. Teknisi mendengarkan,” tutur Richard. Dengan diskusi antara pilot dan teknisi, penanganannya akan lebih tepat. Namun terkadang teknisi tak bisa naik ke pesawat karena penumpang sudah harus turun dan masuk atau pilot harus ganti pesawat.
Go atau no go item
Untuk penanganan kerusakan teknis yang ditulis dalam buku tadi, ada pedoman berbentuk buku lain lagi. Dalam buku minimum equipment lead (MEL) atau dispatch discrepancy guide (DDG) ini diterangkan, mana kerusakan yang harus segera diperbaiki atau bisa ditunda. nanti. Ada yang namanya go item (rusak, tapi boleh terbangi lagi) atau no go item (teknisi tak bisa rilis) atau consult item (teknisi konsultasi dengan captain). Untuk yang go dan no go item, keputusannya sudah jelas. Berbeda dengan consult item, yang secara teknis tak apa-apa dan bisa terbang, tapi pilot harus mengerjakan ini dan itu. Keputusan terbang diambil oleh captain in command atau pilot mengonsultasikannya dulu dengan chief pilot di perusahaannya. Biasanya pilot yang berpengalaman memilih untuk terbang.
Pekerjaan line maintenance memerlukan kecepatan kerja karena pesawat transit biasanya hanya puluhan menit atau satu jam. Dalam sehari, GMF mempekerjakan tiga set teknisi yang dibagi dalam tiga shift ditambah satu set yang istirahat (off), sehingga disiapkan empat set teknisi. “ada yang namanya flexible shift, seperti untuk yang kerja malam biasanya jumlahnya lebih banyak, sementara siang lebih sedikit,” papar Richard.
Berbeda dengan pekerjaan di hanggar. Para teknisi di sini lebih dituntut untuk ketepatan dalam mengerjakan perawatan pesawat. “Biasanya kalau kurang, orang hanggar bisa membantu orang line. Namun di line itu butuh kecepatan, sedangkan di hanggar ketepatan. Jadi, yang bisa bantu itu orang yang pengalaman,” ujarnya.
Bicara keandalan seorang teknisi, salah satunya adalah yang terpilih menjadi trouble shooter. Teknisi ini andal di lapangan dan dapat menangani kerusakan pesawat karena tidak semua teknisi bisa memperbaiki kerusakan itu.
Bagaimana jika terjadi kecelakan? GMF memiliki tim khusus untuk menanganinya dengan ketua tim adalah seorang teknisi Garuda, sebagai operator yang bertanggung jawab. Pertama yang ditangani tim adalah memproteksi pesawat. Lantas setelah masuk hanggar, semua bagian, seperti struktur dan sistem avionik, ikut terlibat untuk memperbaikinya.
Sumber : http://www.angkasa.co.id